Minggu, 28 April 2013

Hukum Pers

BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah hukum pers Indonesia tidak terlepas dari sejarah pers di Indonesia. Dan diketahui juga bahwa perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan. Pers di Indonesia terbagi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Tionghoa dan pers Nasional.
Sistem hukum Indonesia lahir dengan sistem politik Indonesia yang menghasilkan Undang-undang pers yang lahir sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku. Pada makalah ini akan memebahas hubungan kebebasan pers dengan Undang-undang  no. 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers.
BAB II
PEMBAHASAN
Kemerdekaan pers adalah bagian dari kebebasan berekspresi Yang dijamin secara konstitusional melalui Pasal 28 E dan Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945. Selain itu kemerdekaan pers dan berekspresi juga dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Sebagai satu negara yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Tap MPR no. 25 tahun 1966 tentang pembubaran PKI, Tap MPR no.4 tahun 1999 tentang GBHN dan tap MPR no.17 tahun 1998 tentang HAM.
Era reformasi membawa angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aroma kebebasan sungguh menyegarkan ketika kita dapat lepas dari sistem kehidupan orde baru yang memasung. Pers yang pada era orde baru dibungkam, sekarang dapat dengan mudah berbicara mengenai apa saja. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin pada era reformasi ini. Indikasinya dapat terlihat dari perombakan UU Pers No. 21 Tahun 1982 menjadi UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sebelumnya, pada era kepemimpinan Soekarno, UU tentang pers juga pernah mengalami beberapa kali perubahan. Yaitu UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers diubah menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1967 yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 21 Tahun 1982. Undang-undang yang baru diubah setelah kejatuhan era Orde Baru yang dipimpin oleh mantan Presiden Soeharto mengindikasikan perubahan sesuai dengan cita-cita reformasi yang mendambakan kehidupan berdemokrasi. Hal ini dapat dilihat pada bagian pertimbangan dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 yang menekankan:
“Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin”.
Nilai-nilai demokrasi menjadi landasan lahirnya Undang-undang tentang pers ini. Namun Undang-undang Pers yang menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat ternyata belum dapat menjamin sepenuhnya pers dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai wahana komunikasi massa, pemyebar informasi, dan pembentuk opini. Padahal dalam Undang-undang pers, pers dijamin dan mendapat perlindungan hukum, serta dibebaskan dari paksaan dan campur tangan pihak manapun. Hal ini dapat terlihat dari berbagai peristiwa yang menimpa dunia pers sejak jaminan dan peraturan tentang pers diundangkan.
Menurut pasal 6 Undang‑undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pers Nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :
  1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
  2. Menegakkan. nilai‑nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
  3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi. yang tepat, akurat dan benar,
  4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal‑hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
  5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu “adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan atau pekerja pers dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan, perundang-undangan yang berlakuFungsi Pers dan Peranan Pers
Fungsi pers dapat ditinjau dari dua sudut pandang, fungsi institusional dan fungsi subtantif. Fungsi institusional dapat dilihat pada pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.” Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa, “Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.” Fungsi institusional itu lebih sebagai pernyataan memenuhi aspek-aspek hukum moril dari adanya kemerdekaan pers.
Fungsi subtantif dari kebebasan pers adalah pengemban amanat untuk mewujudkan hak-hak asasi rakyat, terutama yang berkaitan dengan mandat dari UUD 1945 pasal 28F. Pers dalam hal ini berkerja untuk mewujudkan hak-hak rakyat untuk mengetahui (public right to know) seperti yang tertera dalam pasal 6a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dari kedua fungsi itu, ditambah lagi dengan peran-peran yang tertera pada pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka pers sama sekali tidak bisa dibebani peran-peran seperti menjaga stabilitas, mendukung pembangunan fisik maupun non fisik, menjaga nama baik pemerintah dan, seterusnya. Yang bukan merupakan fungsi dan peran pers adalah segala yang tidak terkait dengan hak-hak asasi manusia untuk memperoleh informasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, dijelaskan bahwa Organisasi pers ialah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi media periklanan, yang disetujui oleh Pemerintah.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam pembangunan, maka pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan fungsi Pers, menurut pasal 3 Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang penting yaitu: sebagai media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers harus menerapkan prinsip‑prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para karyawan media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Di samping itu, pers juga berfungsi menyebarkan informasi yang objektif, penyalur aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Pelaksanaan fungsi pers tersebut sangat penting dalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. yang demokratis. Yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” adalah bahwa pers bebas, dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Dalam masa reformasi perubahan yuridis atas keberadaan pers merupakan prasyarat terjadinya liberalisasi sistem politik sebagai upaya melahirkan media komunikasi sosial-politik dalam kehidupan bernegara. Masa-masa transisional yang ditandai dengan membuka ruang-ruang komunikasi publik (masyarakat) merupakan perwujudan hak-hak politik bagi setiap warga negara atau kelompok-kelompok sosial mengenai kebebasan mendapatkan informasi dan hak kemerdekaan atas menyampaikan pendapat/gagasan secara lisan maupun tulisan atau cetak.
Akan tetapi, euphoria politik dalam era reformasi sepanjang kebebasan dan kemerdekaan pers ini tidaklah serta-merta memiliki persoalan di kemudian hari dengan begitu saja. Keberadaan lembaga pers terkadang terkesan masuk dalam situasi pro dan kontra dalam setiap dinamika peristiwa-peristiwa politik yang sedang berkembang, 1998-2002. Kesan pro-kontra inipun, dalam waktu seketika membangkitkan sikap kontra demokratis sebagai pendukung kekuatan politik yang merasa dirugikan atas pemberitaan Pers. Kasus pendudukan dan penyegelan ilegal kantor SKH Jawa Pos pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid atau premanisme dalam kasus penyerangan kantor SKH Tempo di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Berangkat atas kasus tersebut, kebebasan dan kemerdekaan Pers menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh sebagai upaya membangun infrastruktur politik ketatanegaraan Indonesia yang demokratis. Pilihan yang dilematis dihadapi oleh kalangan Pers di era reformasi; di satu sisi, jikalau, pers di kekang maka upaya pembangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokrasi, mengalami perbaikan arah reformasi. Disisi lain, kebebasan dan kemerdekaan Pers tanpa diikuti oleh upaya transpormasi kultur demokrasi dari Pers kepada masyarakat pembaca sama halnya dengan lahirkan anarkhisme atau pemicu lahirnya konflik horizontal di kalangan massa rakyat.
Pada esensialnya keberadaan peran media massa (Pers) memiliki 2 (dua) fungsi pokok, yakni; pertama, Kelembagaan Pers merupakan media pendidikan politik massa rakyat. Kedua, kelembagaan Pers merupakan media komunikasi politik. Perdebatan media massa itu harus independen objektif ataupun pilihan keberpihakan yang sangat partisan. Karena, pemberitaan yang terkesan pulgar mengambil sikap memihak akan cenderung menjadi pemberitaan yang bersifat provokatif. Pemberitaan dalam setiap media massa cukuplah mempengaruhi perkembangan kepribadian bangsa dalam kehidupan bernegara. Keberadaan pemberitaan Pers dalam meliput berbagai peristiwa SARA menjadi sangat penting dan kasus maraknya pornografi dalam pemberitaan Pers.
Disamping itu dalam konteks internal kalangan Pers sendiri memiliki persoalan yang sangatlah signifkan. Dimana, pada sistem politik yang tidak demokratis, dalam artian, seperti otoriter ataupun totaliter. Keberadaan Pers menjadi korban kontrol secara ketat oleh negara, yakni rezim penguasa. Sementara, kemungkinan di dalam sistem politik yang demokrasi, keberadaan media massa dikontrol oleh modal dan keinginan pangsa-pasar. Kepemilikan modal yang kuat dari perseoranagan di dalam perusahaan Pers, memungkinkan lahirnya rezim pasar yang mengkooptasi pemberitaan yang disajikan. Otomatis setiap pemberitaan sering lebih mengarah pada akumulasi modal dengan cara lebih memprioritaskan isu-isu yang elitis sebagai pemenuhan kebutuhan pangsa-pasar (pembaca). Akan tetapi, kemungkinan dengan adanya unsur demokratis dari para jurnalis yang berada dalam struktur kelembagaan Pers, memungkinkan untuk tetap terjaganya pemberitaan Pers yang disajikan bersifat netral dan profesional.
Dasar Hukum Pers dan Kebebasan Pers : Aturan mengenai pers mula-mula dimuat dalam UU Nomor (No.) 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1966 No.40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 1966 No.2815, yang telah diubah terakhir dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1967, yang dapat disebut UUP lama (UUPL). Pada tanggal 23 September 1999, seiring dengan berlangsungnya reformasi sosial dan reformasi hukum, dengan pertimbangan bahwa UUPL tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman, maka diundangkanlah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yang untuk selanjut-nya akan disebut sebagai UUP. Diundangkannya UUP sekaligus menyatakan bahwa UUPL tidak berlaku lagi. Selain itu, UU No.4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Keter-tiban Umum, Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai bulletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, juga dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya. Pertama, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana pun. Keempat, karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena UUPL sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Selain kelima dasar pertimbangan di atas, dalam Penjelasan Umum UUP disebutkan enam pokok pikiran yang dirumuskan dalam membentuk UUP. Pertama, agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945 maka perlu dibentuk UUP. Kedua, adanya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transaparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Ketiga, dipahami bahwa pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM. Keempat, diyakini bahwa pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi nepotisme (KKN), maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Kelima, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Keenam, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UUP ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain dasar hukum, dikenal pula Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Ada tujuh butir kode etik dalam KEWI yang dimuat dalam Surat Keputusan (SK) Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000, tanggal 20 Juni 2000. Para wartawan Indonesia yang melaksanakan tugasnya, wajib memahami dan mematuhi KEWI yang dapat disebut sebagai hukum disiplin bagi mereka. KEWI itu diibaratkan sebagai lilin pemandu bagi para wartawan agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan.
Akar Sistem Kebebasan Pers Indonesia : Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Istilah yang beredar dewasa ini adalah hak publik untuk tahu dan tanggung jawab pers. Ini mengisyaratkan pergeseran teoritis atas konsepsi kebebasan pers, yakni dari semula bertumpu pada individu ke masyarakat. Kebebasan pers yang semua dianggap sebagai kebenaran universal, kini hanya diartikan sebagai akses publik, atau hak masyarakat untuk tahu. Sulit dipastikan kapan para pengelola media mulai mengaitkan tanggung jawab dengan kebebasan. Di masa lalu, ketika mereka terbatas pada penerbit koran, etika jurnalisme jarang sekali disebut-sebut. Pada periode berikutnya, ketika para penerbit koran memihak atau menjalin kedekatan dengan kelompok politik tertentu, kepentingan publik cenderung dinomorduakan. Namun pada pertengahan abad 19, muncul keyakinan bahwa koran harus netral, dan justru harus turut menyehatkan iklim politik, bukan mengeruhkannya. Lalu muncul para penerbit seperti Henry Raymond dari The New York Times yang beranggapan koran tidak boleh memihak kelompok politik, tetapi boleh memihak pada pemikiran politik tertentu guna turut mengupayakan kesejahteraan umum. Berikutnya muncul penerbit seperti William Rockhill Nelson dari Star di Kansas City yang menganggap koran sebagai ujung tombak kemajuan masyarakat. Dalam semua pandangan ini, tersirat pengakuan bahwa koran memang memikul tanggung jawab sosial tertentu. Yang menjadi inti permasalahan dalam pembicaraan mengenai sesuatu sistem pers adalah sistem kebebasannya. Sesuatu sistem pers itu diciptakan justru untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Konsep dasar dari sistem kebebasan pers Indonesia memperoleh landasan idiil dan konstitusional dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kita semua menyadari apa kedudukan dan fungsi Pancasila bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Ciri-ciri yang menonjol lainnya dalam sistem kebebasan pers Indonesia a.l. adalah sebagai berikut:
Pertama, pers khususnya suratkabar, adalah penerbitan yang setiap harinya menjual “kabar” atau “berita”. Jadi, kalau kita berbicara mengenai kebebasan pers,maka yang menjadi inti sebenarnya adalah kebebasan untuk mencari, menulis, mencetak dan menyebar-luaskan berita melalui media yang bersangkutan.
Kedua, sistem kebebasan pers Indonesia yang diabdikan untuk “memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab”, seperti tercantum dalam Pasal 2, Ayat 2-c, UU Pokok Pers No. 21 (1982). Memperjuangkan kebenaran merupakan ciri dari tata kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan ini berarti bahwa dalam usaha memperjuangkan suatu kebenaran, wajar apabila ada pendapat yang berlainan dalam masyarakat. Kritik adalah pencerminan adanya pendapat yang berlainan tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem kebebasan pers Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan filosofis yang mendasar, yang intinya mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah menjadi sebagian dari kepribadiannya sejak berabad-abad lamanya. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan pers tersebut sepenuhnya mencerminkan jiwa dan semangat daripada konsep dasar dan sekaligus juga landasan strategis dari sistem pers Indonesia sebagai terkandung dalam GBHN.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 diatur dalam Bab VIII dan hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18, dengan tiga ayat. Pelanggaran Pasal 18 merupakan tindak pidana, dan walaupun hanya satu pasal, namun mengandung beberapa rumusan tindak pidana sebagai berikut di bawah ini :
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (2), yaitu tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiar-an terhadap pers nasional Pasal 18 ayat (1).
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3), yaitu hak pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluas-kan gagasan dan informasi Pasal 18 ayat (1).
Pasal 18 ayat (1) di atas merumuskan perbuatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang, sebagai tindak pidana dan diancam dengan pidana penjara atau denda. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) merupakan perumusan tindak pidana untuk perusahaan pers sebagai berikut di bawah ini.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu melayani Hak Jawab. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 13 [Pasal 18 ayat (2)], yaitu dilarang memuat iklan : yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat, minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai de-ngan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, peragaan wujud rokok dan penggunaan rokok.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) Pasal 18 ayat (3), yaitu setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 Pasal 18 ayat (3), yaitu wajib mengumumkan nama, alamat, penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan. Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan informasi yang merupakan manisfestasi dari tugas pers dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, dan kemerdekaan adalah wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang pers sebagai lex specialis memang membawa perdebatan panjang. Namun kita mengetahui bahwa kebebasan pers seperti pada saat sekarang ini karena undang-undang pers lahir pada sistem politik yang demokratis.
Dengan demikian hubungan kebebasan pers dengan undang-undang pers no.40 tahun 1999 tidak terlepas dari sistem politik yang ada pada era repormasi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar