A. MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
1. Peraturan dasar ketatanegaraan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah Reglement op het
Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2), tidak mengenai
desentralisasi akan tetapi sentralisasi. Namun demikian disampiing
sentralisasi, dijalankan pula dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu
itu telah pula dikenal wilayah-wilayah administratif, misalnya di Jawa
secara hirarkis adalah Gewest (yang kemudian disebut Residentie),
Afdeeling, District, dan Onder-distict.
2. Sesuai dengan perkembangan
politik dan pemerintahan, baik Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda
sendiri, sistem yang sentralistis itu tidak dapat dipertahankan terus.
Karena itu maka pada 1903 Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu
Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie
(Stb.1903/329) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet
1903. Decentalisatiewet atau Undang-Undang Desentralisasi 1903 ini
memberi kemungkinan bagi pembentukan Gewest atau bagian Gewest yang
mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai segala kegiatannya.
Pengurusan keuangan tersebut dilakukan oleh sebuah raad yang dibentuk
bagi masing-masing daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan lebih lanjut
Undang-Undang Desentralisasi 1903 ini dilakukan dengan Decentralisatie
Besluit (Stb. 1905/137) dan Local Redenordonantie (Stb 1905/181).
Menurut kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri ini
disebut Local Resort, sedangkan Raad-nya disebut Locale Raad. Locale
Raad dibedakan ke dalam Gewestelijke Raad bagi Gewest dan Plaatselijke
Raad bagi daerah-daerah yang merupakan bagian dari Gewest. Salah satu
jenis dari Plaatselijke Raad ini adalah Gemeenteraad.
Ciri-ciri pokok desentralisasi menurut Desentralisatiewet 1903 ini adalah sebagai berikut :
a.
Kemungkinan pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhannya yang pengurusannya dilakukan oleh
sebuah raad;
b. Bagi Daerah yang dianggap telah memenuhi syarat, maka
setiap kali dengan ordonantie pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang
setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada Daerah tersebut,
serta dibentuk raad bagi Daerah yang bersangkutan;
c. Untuk
Gewestelijke Raad, jabatan ketuanya dipegang oleh Pejabat Pusat yang
menjadi Kepala Gewest yang bersangkutan, sedang untuk daerah-daerah
lainnya ditunjuk dalam ordonantie pembentukan. Ini pada umumnya juga
adalah Pejabat Pusat yang menjadi Kepala Daerah administratif;
d.
Para anggota Locale raad untuk sebagian diangkat, untuk sebagian duduk
kerena jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi dipilih, kecuali
Gemeenteraad yang sejak 1917 semua anggotanya dipilih. Masa duduk
keanggotaan ini sampai 1925 diterapkan 6 tahun, dan setelah itu diubah
menjadi 4 tahun;
e. Locale raad berwenang menetapkan Locale
verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan
Daerahnya sepanjang belum diatur dalam peraturan perundangan Pusat;
f.
Pengawasan terhadap Daerah baik berupa kewajiban Daerah untuk meminta
pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau
membatalkan keputusan Daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Pejabat
ini berhak pula mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh Locale raad.
3.
Pelaksanaan desentralisasi seperti di atas kurang memuaskan karena
dirasakan sangat terbatas. Oleh karena itu dikeluarkanlah Wet op de
Bestuurshervorming (Stb 1922/216), titik berat undang-undang ini adalah
“pembentukan badan-badan pemerintahan baru dengan mengikutsertakan
‘penduduk asli’ dengan pemberian hak untuk menyelenggarakan
pemmerintahan dan pembebanan tanggung jawab sebagai akibat dari
pemberian hak tadi, agar lambat-laun dapat memperoleh pengalaman politik
(“politieke scholing”) yang mutlak harus dimiliki untuk pada akhirnya
dapat diberikan kepada Hindia Belanda suatu pemerintahan yang bebas
nyata dalam lingkungan ikatan dengan Kerajaann Belanda”.
Pelaksanaan
lebih lanjut undang-undang tersebut diatur dengan Provinie-ordonantie
(Stb 1924/78), Regentschap-ordonantie (Stb 1924/79) dan
Stadsgemeente-ordonantie (Stb 1926/365).
Berdasarkan peraturan
tersebut di atas, dibentuklah pelbagai propinsi, regentschap dan
stadsgemeente yang berhhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
di Jawa dan Madura. Dengan demikian maka pelbagai Locaal ressort yang
telah dibentuk sebelumnya, dihapus/ditiadakan.
Di luar Jawa dan
Madura, keadaannya berbeda. Berdasarkan Groepsgemeenschap-ordonantie
(Stb 1937/464) dan Stadsgemeente-ordonantie Buitengewesten, dibentuklah
beberapa Groepsgemeenschap dan Stadsgemeente, sedangkan Local ressort
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903 masih tetap
dipertahankan.
Karakteristik desentralisasi menurut Stb 1922/216 ini adalah sebagai berikut :
a.
Kemungkinan pembentukan provinsi otonom dengan kekuasaan yang lebih
luas daripada Gewest dulu. Provinsi itu terbagi ke dalam
Regentschap/Groeps gemeenschap dan Stadsgemeenschap yang juga otonom;
b.
Otonomi Daerah itu dan tugas-tugasnya untuk membantu pelaksanaan
peraturan perundangan Pusat dipertegas ddengan keta-kata “regeling en
bestuur van de huishouding der gemeenschap” dan “verlenen van medebewind
tot uitvoering van algemene verordeningen”.
c. Susunan Pemerintah
daerahnya pada umumnya terdiri atas tiga organ yaitu Raad, College,
yyang menjalankan pemerintahan sehari-hari (dagelijkse leiding en
uitvoering van zaken) dan Kepala Daerah (Gouverneur, Regent,
Burgemeester);
d. Kepala Daerah yang merupakan Pejabat Pusatt sebagai
Kepala daerah administratif, sekaligus merupakan organ Daerah, sebagai
Ketua Raad dan Ketua College dari daerah yang bersangkutan;
e.
Pengawasan terhadap Daerah dilakukan oleh Governeur General, sedangkan
bagi Daerah-daerah di bawah Provincie juga oleh College Provincie yang
bersangkutan. Kepala Daerah sebagai Pejabat Pusat menjalankan pula
pengawasannya terhadap pelaksanaan otonomi dalam daerahnya.
4.
Pertumbuhan Daerah otonom sejak 1903 di atas terjadi di wilayah yang
langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di wilayah yyang
langsung dikuasainya ini, terdapat juga apa yang disebut Inlandsche
Gemeente seperti Desa, Huta, Kuria, Marga, dan sebagainya. Untuk Jawa
dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente
Ordonantie (IGO) (Stb 1906/83), sedangkan untuk daerah di luar pulau
Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten (IGOB) (Stb 1939/490), Byblad 9308, Stb 1931/507, dan
Desa-ordonantie (Stb 1941/356). Karena pecah Perang Dunia II, maka
Desa-ordonantie tidak/belum sempat dilaksanakan.
5. Di daerah yang
tidak langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda terdapat daerah
Otonom yang disebut Zelfberturende landshappen. Zelfberturende
landshappen ini terdiri dari kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang
mmempunyai kontrak-kontrak politik, baik kontrak poliyik panjang (lange
contracten) seperti Kasunanan Sala/Surakarta, Kesultanan Yogyakarta,
Deli, dan sebagainya, maupun kontrak politik pendek (koorte verklaring)
seperti Pakualaman, Mangkunegaraan, Kesultanan Goa, Bone dan sebagainya.
B. MASA PENDUDUUKAN JEPANG
Pada
waktu bala tentara Jepang menguasai wilayah Hindia Bellanda,
pemerintahan di bekas wilayah jajahan ini dibagi ke dalam tiga komando,
yaitu :
(a) Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV yyang berkedudukan di Bukittinggi;
(b) Jawa dan Madura berada di wilayah Komando Panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta;
(c) Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dengan
demikian maka pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang
dilaksanakan oleh Komando angkatan masing-masing yang disebut Gunseikan.
Baru
kemudian pada 11 September 1943, kekuasaan pemerintah berada di bawah
satu tangan, yaitu dalam tangan Saikosikikan yang berkedudukan sebagai
Gubernur Jenderal. Di bawah Saikosikikan segala sesuatu yang dilakukan
oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus adalah Kepala Staf Angkatan
Perangnya. Segala peraturan perundangan dikeluarkan oleh Saikosikikan
disebuut Osamuseirei dan yang dikeluarkan oleh Kepala Staf disebut
Osamukanrei. Pemberitaan-pembberitaan resminya dimuat dalam Kanpo.
Osamuseirei
No. 3 yang dikeluarkan oleh Saikosikikan mengatur pemberian wewenang
kepada Walikota yang semula hanya untuk mengatur urusan rumah tangga
daerahnya saja, sekarang diwajibkan juga untuk menjalankan urusan
Pemerintahan Umum.
Selanjutnya, kedudukan Stadsgemeente dan
Regenschap dengann Osamuseirei No. 12 dan No. 13 diubah menjadi Si dan
Ken yang otonom, tetapi sifat demokratisnya diriadakan, karena hak-hak
Raad dan College dialihkan kepada Kepala Daerah. Dengan Osamuseirei No.
21 dan No. 26 diterapkan pula bahwa Provinsi ditiadakan/dihapuskan.
Demikian juga dengan Dewan Kabupaten dan Dewan Gemeente.
Selanjutnya dalam Osamuseirei No. 27 tahun 1942 ditetapkan antara lain :
(a)
Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta, dibagi atas beberapa syuu (Karesidenan), Si (Stadsgemeente),
Ken (Regentschap), Gun (Distriik/Kawadenan). Son (Onderdistrict), dan
Ku (Desa). Kepala-kepala pemerintahannya disebut Tyo; jadi
berturut-turut terdapat Syuutyo, Sityyo, Kentyo, dan seterusnya.
(b)
Urusan yang semula dijalankan oleh para Bupati, Wedana, Asisten Wedana,
Kepala Desa, Kepala Kampung (Wijkmeester) yang berada di daerah Si
(Kota) diambil-alih oleh Sityo.
(c) Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan, yang disebut Tokubetsu Si.
Osamuseirei
No. 28 tahun 1942 menetappkan pula bahwa Yogyakarta dan Surakarta
diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan Daerah yang berdiri
sendiri khusus mengurus bidang ekonomi/pangan, sedang Si dan Ken
dinyatakan tetap sebagai Daerah otonom akan tetapi
keputusan-keputusannya dapat dibatalkan oleh Syuutyokan.
Kemudian
untuk Kaarasidenan dibentuk sebuah Dewan yang disebut Sangi Kai (Syu
Sangi Kai) yang anggota-anggotanya diangkat seluruhnya, Dewan-dewan ini
“..... pada hakikatnya hanya dewan-dewan yang mendengarkan
ceramah-ceramah, nasihat-nasihat dan perintah-perintah serta kemauan
dari Pemmerintah Bala Tentara Jepang”.
C. MASA SETELAH PROKLAMASI HINGGA KINI
1. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam
pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas
dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan
hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu
Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat
otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan
perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam
keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita
darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6
(enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan
kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan
kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang
ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten
dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam
delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini
diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam
perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi
daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan
Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946,
dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir
menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
2. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor
22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April
1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c.
Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak
mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak
dinyatakan mengenai sistem rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu
untuk mengetahui sistem mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan
pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah
tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2.
Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan
dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari
kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga
atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya.
Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus
urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang
tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah
diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU
ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan
Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material.,
yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban
apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom
dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan
pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara
konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal
28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika
hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau
dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa
ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini
menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja
karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang
beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada
27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI
hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang
wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera
Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini
sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD
sementara diberlakukan.
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam
perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5
Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah
sistem otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori
penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang sistem otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan
rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan
kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud
dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan
tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah
sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah tiap-tiap
waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing
daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan
dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta
pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat
diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan
lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri
system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat
dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para
ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi
karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2
diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut
sistem yang dapat diberi nama sendiri yaitu sistem otonomi riil.
(Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan
berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP
dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan
dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli
1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah
tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala
Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga
dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi
sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai
Pegawai Negara.
4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU
ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1
tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun
1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun
1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan
dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan
umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya
menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan
seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan
masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang
pasif.
5. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU
terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang
menyatakan diri menganut sistem otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak
berbicara apa
-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini
menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai sistem
atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto;
1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru
melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di
garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai
digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi
tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas
desentralisasi;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi
yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan
kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam
Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi
rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap
luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal
berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada
pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu
daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4.
Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan
perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari
ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah
menganut sistem atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak
ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan
Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan
atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari
sistem rumah tangga formil.
6. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana
UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara
gamblang tentang sistem atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk
dapat mengetahui sistem atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya
pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau
luasnya urusan yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah
tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi
hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara
propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan
kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun
ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan
rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.
Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta
kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan
propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan
yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui
kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang
mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung
jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan
daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain
kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal
9.
Dari uraian diatas terlihat sistem atau ajaran rumah tangga yang
digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga
material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran
materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara
jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri
daripada sistem atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan
menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70
dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota
memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di
wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan
peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri
daripada system atau ajaran rumah tangga formil.
7. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2004. Ketentuan
Undang-Undang ini mengandung prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan
undang-undang ini. Jadi, undang-undang ini menganut sistem/ajaran
rumahtangga materil (dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No 32 Tahun
2004). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat
yang bertuujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (berarti,
undang-undang ini menganut juga sistem formal), dalam pasal 10 ayat 2 UU
No. 32 Tahun 2004 . Prinsip nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi daerah, bearti undang-undang
ini juga menganut sistem riil (dalam Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 14 ayat 2
UU No. 32 Tahun 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar