Bila
berbicara mengenai hukum dan penegakannya di Indonesia, akan
menimbulkan begitu banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab hingga
saat ini. Apakah hukum sudah benar-benar tegak? Apakah keadilan sudah
berpihak kepada rakyat? Apakah hukum dan institusi hukum sudah
tereformasi? Apakah penegak hukum sudah bersih, lugas dan tidak pilih
bulu bertindak atas nama hukum? Seluruh poling yang pernah
dibuat atas pertanyaan ini belum pernah memberikan angka yang pasti
untuk membenarkan setiap pertanyaan tersebut. Setiap hari yang terdengar
bahwa hukum dan kebijakan publik di Indonesia ketinggalan jaman, tidak
konsisten, tumpang tindih, compang-camping, dan dibuat hanya untuk
kepentingan segelintir orang atau golongan.
Dalam kenyataannya hukum di Indonesia kerap kali berjalan seperti zombie,
tanpa jiwa karena hanya bersifat kerangka-kerangka yang tidak hidup
namun dibiarkan hidup dalam masyarakat dalam keseharian masyarakat
tersebut.apakah hukum di Indonesia sudah sedemikian parahnaya hingga
untuk membicarakannya sajapun dianggap buang-buang waktu saja?
Berbicara
mengenai penegakan hukum sebenarnya tidak terlepas pada suatu sistem
pemerintahan yang berlaku disuatu negara. Dalam perkembangannya,
terdapat asas-asas yang memberikan batasan apakah suatu pemerintahn di
suatu negara sudah dapat dikategorikan baik atau belum. Asas-asas ini disebut sebagai asas-asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration/government) yang dikategorikan dalam 13 asas, yaitu:
- asas kepastian hukum ( priciples of legal certainty), yaitu asas yang menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara.
- asas keseimbangan (principle of proportionality), yaitu asas yang menghendaki adanya keseimbangnan antara hukuman jabatan dengan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai.
- asas kesamaan dalam pengambilan keputusan (principle of equality), yaitu asas yang menghendaki badan pemerintah atau administrasi negara dalam menghadapi kasus yang sama mengambil tindakan yang sama juga.
- asas bertindak cermat ( principle of carefulness), yaitu asas yang memperingatkan agar aparatur negara senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.
- asas motivasi untuk setiap putusan asministrasi negara (principle of motivation) yaitu asas yang menghendaki agar setiap putusan administrasi negara diberikan alasan atau motivasi yang cukup dan sifatnya benar.
- asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non-mixed of competence)
- asas permainan yang layak (principle of fairplay), yaitu asas yang memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan.
- asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonables) yatu asas yang menentang tidakan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan khusus yang bersangkutan sehingga timbul ketimpangan.
- asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raisde expectation) yaitu asas yang menghendaki tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan yang wajar bagi berbagai kepentingan.
- asas meniadakan akibat putusan yang batal (principle of undoing the consequences of an anulled decission) yaitu asas yang menghendaki bila terjadi pembatalan atas suatu keputusan, akibat keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga yang besangkutan diberikan ganti rugi atau rehabilitasi.
- asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protection the personal way of life), yaitu asas yang menghendaki agar setiap pegawai diberi kebebasan dan hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya.
- asas kebijaksanaan (principle of wisdom), yaitu asas yang menghendaki pelaksanaan tugas pemerintah diberikan kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi.
- asas penyelenggaraan kepentingan umum (priciple of public service) yaitu asas yang menghendaki penyelenggaraan tugas pemerintahan, pemerintah selalu megutamakan kepentingan umum.
Hukum
lingkungan sebagai bagian dari sistem hukum yang keberadaanya harus
ditegakkan secara nyata dan efektif juga tidak terlepas dari asas-asas
pemerintahan yang baik ini mengingat materi yang terdapat dalam hukum
lingkungan juga berkaitan erat dengan pandangan masyarakat baik oleh
warga negara maupun masyarakat internasional. Seperti yang telah
diketahui, hukum tata lingkungan ini atau yang lebih dikenal sebagai
hukum lingkungan mencakup pada hal-hal yang cukup luas mulai dari
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya baik didaerah maupun
pusat. Oleh karena itu, hukum lingkungan tidak hanya terbatas pada
generasi masa kini namun juga hingga generasi yang akan datang sehingga
diperlukan suatu penegakan yang benar-benar menjawab setiap kepentingan
masyarakat. Penegakan hukum dan penataan lingkungan itu memerlukan satu rencana induk, yang akan mengatur pelaksanaan penegakan hukum di pusat hingga di kabupaten.
Pemerintah
sebagai organ yang diberi kepercayaan oleh masyarakat hendaknya dapat
melaksanakan tugasnya berdasarkan asas-asas yang ada sehingga
menghasilkan suasana yang selaras, serasi dan seimbang di masyarakat dan
lingkungannya. Sebenarnya, bagi masyarakat secara umum, keadilan dan
kepastian hukum adalah asas yang paling vital dalam menjunjung tinggi
hak asasi serta kepercayaan pada kinerja pemerintah.
Konstitusi dinegara
ini sebenarnya sudah cukup memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat
untuk dapat menikmati lingkungan yang ajeg yang tertuang secara khusus,
di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup
terdapat di dalam Pasal 28 G ayat 1: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” pada ayat 3: “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat 4: “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”. Penegakan hukum sebagai salah satu
upaya untuk melakukan reformasi pengelolaan lingkungan hidup hendaknya
menjadi prioritas utama dalam menjamin adanya penataan lingkungan sesuai
dengan standar internasional. Pada dasarnya, standar materi hukum
lingkungan di Indonesia tidak jauh ketinggalan dengan apa yang berlaku
di dunia internasional. Hanya saja penegakannya belum dapat dirasakan
sedemikian rupa sehingga setiap permasalahan yang berkaitan dengan
perusakan lingkungan sering berakhir tanpa memberikan rasa keadilan dan
kepastian hukum di masyarakat.
Begitu
banyak kasus lingkungan yang pada akhirnya hanya menimbulkan pertanyaan
dalam masyarakat mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Sebagai contoh
yang paling baru dan sampai saat ini belum dapat diselesaikan adalah
kasus pencemaran sebagai akibat kecerobohan perusahaan, yang dalam hal
ini Lapindo Brantas Inc. Dalam hal ini, Lapindo tidak saja
harus bertanggung jawab atas kelalaian drilling yang dilakukan
subkontraktor tersebut, melainkan juga harus mempertanggungjawabkan
perbuatan korporasinya secara hukum terutama untuk tegaknya
hukum lingkungan bagi siapa saja yang melakukan tindakan kehancuran
(pencemaran) lingkungan dalam aktivitasnya demi kepentingan lingkungan
masyarakat sekitar dan kepentingan generasi yang akan datang.
Semburan
lumpur panas oleh Lapindo di kabupaten Sidoarjo ini sampai saat ini
belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan
lumpur panas ini telah memorakporandakan sumber-sumber penghidupan
warga setempat dan sekitarnya. Beberapa media massa melaporkan,
setidaknya tak kurang 13 pabrik harus tutup beberapa saat, 200 hektar
sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi,
sebanyak 5800 penduduk mengungsi, beberapa wilayah berpotensi
terkontaminasi, demikian juga dengan tambak-tambak bandeng milik warga
serta lumpuhnya aktivitas sosial, pendidikan serta jalur transportasi
tol Surabaya-Gempol.
Contoh
lain yang masih membekas di ingatan masyarakat adalah kasus pencemaran
yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL/eks. PT.
Inti Indorayon Utama). PT Indorayon mulai beroperasi pada akhir tahun
1980-an. Pada tahun 1999 perusahaan itu ditutup atas rekomendasi Menteri
Negara Lingkungan Hidup yang ketika itu dijabat Sonny Keraf-karena
terbukti mencemari dan membahayakan lingkungan. Namun, pada Maret 2002
atas rekomendasi Wakil Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh Megawati
Soekarnoputri, PT Indorayon dibuka kembali dengan nama PT Toba Pulp
Lestari. Selama sepuluh tahun PT Indorayon beroperasi, , masyarakat
Porsea merasakan hidup yang serba sulit. Selain mencemari lingkungan,
perusahaan itu juga mendatangkan banyak masalah sosial, seperti konflik
dan intimidasi aparat terhadap masyarakat yang menolak Indorayon.
Kesehatan
masyarakat menurun karena kualitas lingkungan yang buruk. Limbah
perusahaan itu tidak hanya mencemari udara yang menyebabkan penyakit
ISPA, tetapi juga berpengaruh pada menurunnya hasil panen penduduk.
Penduduk khawatir kejadian sepuluh tahun lalu, akan terulang dan mereka
alami lagi sejak dibukanya PT TPL. Selain udara yang bikin sesak, dampak
lain sejak dibukanya PT TPL adalah menurunnya hasil panen. Hal ini
disebabkan banyaknya bulir padi yang tidak berisi atau kosong. Selain
itu, penduduk setempat mengaku limbah uap dari operasional pabrik itu
cukup mengganggu udara yang mereka hirup sehari-hari. Hampir semua
penduduk Desa Amborgang yaitu daerah sekitar PT. TPL yang ditemui,
sesudah turun hujan mereka merasakan perubahan udara sehingga
menimbulkan rasa sesak dan jarak pandang yang buruk. Berdasarkan data di
Puskesmas Porsea, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas
(ISPA)
pada bulan Januari 2001 tercatat 92 orang. Sedangkan pada Januari 2002 tercatat 103 orang dan meningkat menjadi 128 pada Januari 2003. Masyarakat menduga ISPA tersebut merupakan dampak pencemaran udara sejak beroperasinya kembali PT Toba Pulp Lestari pada tahun 2002.
pada bulan Januari 2001 tercatat 92 orang. Sedangkan pada Januari 2002 tercatat 103 orang dan meningkat menjadi 128 pada Januari 2003. Masyarakat menduga ISPA tersebut merupakan dampak pencemaran udara sejak beroperasinya kembali PT Toba Pulp Lestari pada tahun 2002.
Dari
kedua contoh kasus lingkungan ini, tidak terlihat jelas upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian setiap dampak kerugian yang
dialami oleh masyarakat. Ini hanyalah sebagian contoh kecil dari ribuan
kasus lingkungan yang pernah terjadi di Indonesia seperti illegal loging, pembuangan limbah sembarangan, kasus PT. Freeport, dan kasus lain yang penyelesaiannya stag di
satu titik yang belum jelas. Pada umumnya, pelanggaran yang terjadi
adalah pelanggaran administratif yaitu pelanggaran terhadap tidak
dipenuhinya persyaratan pendirian perusahaan yang berpotensi
menghasilkan pencemaran lingkungan ini. Bila diurutkan, kasus kedua yang
terbanyak adalah perdata kemudian diikuti oleh kasus pidana.
Pada
pemerintahan saat ini banyak masalah mendasar yang harus dipecahkan
lebih dulu sebelum mengatasi masalah lingkungan hidup dan sumber daya
alam itu sendiri. Hal itu yang terkait dengan institusi yang lemah,
tidak adanya rencana induk, masalah sumberdaya manusia dan integritasnya
yang menghambat penegakan hukum. Bila dikaitkan dengan institusi,
dahulu ada sebuah institusi yang disebut Badan Pengawas Dampak
Lingkungan (Bapedal) yang didirikan dan diberi wewenang untuk melakukan
pengawasan, tetapi kewenangan pengawasan yang melekat di berbagai
instansi tidak dicabut. Akibatnya, perangkat hukum ini menjadi sangat
lemah. Namun, saat ini Bapedal sudah tidak ada dan tugasnya dialihkan
seluruhnya kepada kementrian lingkungan hidup. Masalah lain adalah Sumber Daya Manusia (SDM), yang sangat berkait dengan keberadaan master plan atau rencana induk tadi. Karena tidak ada master plan,
maka pengembangan SDM pun tidak jelas. Sebagai contoh dapat terlihat
dalam UU No 23/1997 ada inspektur sebagai pengawas dan ada investigator
sebagai penyidik.
Namun,
sekarang ini pemerintah lebih memprioritaskan keberadaan investigator.
Padahal investigator yang bertugas menyidik itu untuk menangani proses
pidana. Kalau orang sudah dipidana berarti sudah ada kerusakan. Yang
diharapakan adalah jangan sampai kerusakan itu timbul. Oleh karena itu
sangat diharapkan untuk memprioritaskan inspektur sebagai pengawas pada
masalah administratif atau lebih pada persoalan teknis. Kalau pengawas
berarti dia punya tugas untuk mencegah kerusakan. Jadi, pada saat orang
sudah tidak memenuhi persyaratan, ia sudah dapat langsung dijatuhi
hukuman. Idealnya jumlah antara pengawas dan penyidik tiga berbanding satu.
Sedangkan
untuk bidang perangkat penegakan hukum, yang perlu dibenahi adalah
kepolisian dan jaksa. Di lembaga kepolisian saat ini telah ada subdit
lingkungan hidup namun hanya terbatas di Mabes Polri, belum menyentuh
tingkat kepolisian daerah. Jadi semua masih mengandalkan
Mabes Polri yang jumlah personelnya sangat terbatas. Di Kejaksaan
kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Karena di lembaga ini lingkungan
hidup berada di Direktorat Tindak Pidana Lain-lain di bawah Jampidum.
Lingkungan hidup berada dibawah pidana umum, bukan pidana khusus.
Padahal, lingkungan hidup adalah hal yang cukup vital dalam menjaga
kesinambungan hidup manusia baik untuk saat ini maupun dimasa yang akan
datang. Oleh karena itu, lingkungan
hidup tidak dapat begitu saja dimaknai sebagai satu obyek statis yang
hampa dari interaksi dengan manusia. Hak rakyat atas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat serta kewajiban negara untuk menjamin hak
konstitusional warga negaranya harus diletakkan pada kedudukan
tersendiri. Untuk tingkat pengadilan sendiri, seharusnya ada pengadilan
khusus lingkungan hidup, atau digabungkan dengan SDA dan pertanahan
seperti Land and Environment Court di Australia, yang derajatnya sejajar
dengan Supreme Court negara bagian. Kalau untuk bidang korupsi dan
niaga saja ada, kenapa tidak untuk lingkungan hidup mengingat lingkungan
hidup juga menguasai hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Penanganan
kasus juga harus ditangani oleh seorang hakim yang bersertifikat.
Sekarang ini ada 627 hakim dari MA yang telah bersertifikat untuk
menangani masalah lingkungan. Hal ini untuk menjamin integritas hakim-hakim itu sendiri. Jangan
sampai hakim-hakim ini malah menjadi bumerang yang ikut mengambil
kesempatan untuk keuntungan pribadi seperti dalam melakukan korupsi.
Contoh kasus adalah kebakaran lahan Adei Plantation yang semula divonis
dua tahun di tingkat banding menjadi delapan bulan. Padahal kebakaran
hutan itu merupakan masalah nasional dan internasional. Mengapa harus
ada klemensia atau peringanan hukuman. Para hakim ini dapat dikirim ke
daerah-daerah untuk membantu menangani kasus lingkungan.
Begitu
juga dengan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini, di Indonesia,
undang-undang yang mengatur mengenai lingkungan hidup adalah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam
kenyataannya, undang-undang ini masih terdapat kekurangan disana-sini.
Diantaranya adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak memberikan
kewenangan yang kuat pada menteri lingkungan hidup. Sekarang ini
rekomendasi yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup (LH) tidak
bersifat rekomendasi yang mengikat. Menteri LH tidak punya kewenangan
untuk mencabut izin seperti Menteri LH di Belanda. Hal ini pula yang
membuat penegakan hukum lingkungan lemah. Selain itu, UU No 23/1997
bersifat sangat sentralistis dan tidak memberi perspektif terhadap stakeholder
yang maksimal. Padahal seharusnya dipikirkan kerja sama pengelolaan
lingkungan pasca konsesi antara pihak pengelola dan pemerintah daerah,
dan masyarakat lokal. Dengan demikian, kerusakan lingkungan akibat
aktivitas pihak pemegang konsesi dapat diatasi. Pemegang hak pengelolaan
lahan juga akan berhati-hati dalam menjalankan operasinya agar tidak
merusak lingkungan.
Undang-undang
lingkungan hidup juga hendaknya memiliki wewenang untuk perlindungan
lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Wewenang ini diharapkan
dapat mengatur upaya pencegahan kerusakan, penanganan kerusakan,
penegakan hukum atau sanksi dan upaya rehabilitasi atau pemulihan
lingkungan.
Dengan
terpenuhinya hal-hal diatas, maka masyarakat sebagai subyek yang
berkaitan langsung dengan lingkungan dapat benar-benar merasakan adanya
suatu sistem pemerintahan yang baik atau good governance
sehingga berdampak pada terpenuhinya tiga hak dasar masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak masyarakat untuk mengakses
informasi (public right to access information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam, ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya. Dengan
adanya jaminan akan pelaksanaan tiga hak dasar ini, maka barulah dapat
dikatakan bahwa penegakan hukum dibidang hukum lingkungan telah
terselenggara dengan baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar