Senin, 29 April 2013

Hukum Perlindungan dan Penegakan Hukum Lingkungan

Bila berbicara mengenai hukum dan penegakannya di Indonesia, akan menimbulkan begitu banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab hingga saat ini. Apakah hukum sudah benar-benar tegak? Apakah keadilan sudah berpihak kepada rakyat? Apakah hukum dan institusi hukum sudah tereformasi? Apakah penegak hukum sudah bersih, lugas dan tidak pilih bulu bertindak atas nama hukum? Seluruh poling yang pernah dibuat atas pertanyaan ini belum pernah memberikan angka yang pasti untuk membenarkan setiap pertanyaan tersebut. Setiap hari yang terdengar bahwa hukum dan kebijakan publik di Indonesia ketinggalan jaman, tidak konsisten, tumpang tindih, compang-camping, dan dibuat hanya untuk kepentingan segelintir orang atau golongan.
            Dalam kenyataannya hukum di Indonesia kerap kali berjalan seperti zombie, tanpa jiwa karena hanya bersifat kerangka-kerangka yang tidak hidup namun dibiarkan hidup dalam masyarakat dalam keseharian masyarakat tersebut.apakah hukum di Indonesia sudah sedemikian parahnaya hingga untuk membicarakannya sajapun dianggap buang-buang waktu saja?
            Berbicara mengenai penegakan hukum sebenarnya tidak terlepas pada suatu sistem pemerintahan yang berlaku disuatu negara. Dalam perkembangannya, terdapat asas-asas yang memberikan batasan apakah suatu pemerintahn di suatu negara sudah dapat dikategorikan baik atau belum. Asas-asas ini disebut sebagai asas-asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration/government) yang dikategorikan dalam 13 asas, yaitu:
  1. asas kepastian hukum ( priciples of legal certainty), yaitu asas yang menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara.
  2. asas keseimbangan (principle of proportionality), yaitu asas yang menghendaki adanya keseimbangnan antara hukuman jabatan dengan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai.
  3. asas kesamaan dalam pengambilan keputusan (principle of equality), yaitu asas yang menghendaki badan pemerintah atau administrasi negara dalam menghadapi kasus yang sama mengambil tindakan yang sama juga.
  4. asas bertindak cermat ( principle of carefulness), yaitu asas yang memperingatkan agar aparatur negara senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.
  5. asas motivasi  untuk setiap putusan asministrasi negara (principle of motivation) yaitu asas yang menghendaki agar setiap putusan administrasi negara diberikan alasan atau motivasi yang cukup dan sifatnya benar.
  6. asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non-mixed of competence)
  7. asas permainan yang layak (principle of fairplay), yaitu asas yang memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan.
  8. asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonables) yatu asas yang menentang tidakan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan khusus yang bersangkutan sehingga timbul ketimpangan.
  9. asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raisde expectation) yaitu asas yang menghendaki tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan yang wajar bagi berbagai kepentingan.
  10. asas meniadakan akibat putusan yang batal (principle of undoing the consequences of an anulled decission) yaitu asas yang menghendaki bila terjadi pembatalan atas suatu keputusan, akibat keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga yang besangkutan diberikan ganti rugi atau rehabilitasi.
  11. asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protection the personal way of life), yaitu asas yang menghendaki agar setiap pegawai diberi kebebasan dan hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya.
  12. asas kebijaksanaan (principle of wisdom), yaitu asas yang menghendaki pelaksanaan tugas pemerintah diberikan kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi.
  13. asas penyelenggaraan kepentingan umum (priciple of public service) yaitu asas yang menghendaki penyelenggaraan tugas pemerintahan, pemerintah selalu megutamakan kepentingan umum.

Hukum lingkungan sebagai bagian dari sistem hukum yang keberadaanya harus ditegakkan secara nyata dan efektif juga tidak terlepas dari asas-asas pemerintahan yang baik ini mengingat materi yang terdapat dalam hukum lingkungan juga berkaitan erat dengan pandangan masyarakat baik oleh warga negara maupun masyarakat internasional. Seperti yang telah diketahui, hukum tata lingkungan ini atau yang lebih dikenal sebagai hukum lingkungan mencakup pada hal-hal yang cukup luas mulai dari lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya baik didaerah maupun pusat. Oleh karena itu, hukum lingkungan tidak hanya terbatas pada generasi masa kini namun juga hingga generasi yang akan datang sehingga diperlukan suatu penegakan yang benar-benar menjawab setiap kepentingan masyarakat. Penegakan hukum dan penataan lingkungan  itu memerlukan satu rencana induk, yang akan mengatur pelaksanaan penegakan hukum di pusat hingga di kabupaten.
Pemerintah sebagai organ yang diberi kepercayaan oleh masyarakat hendaknya dapat melaksanakan tugasnya berdasarkan asas-asas yang ada sehingga menghasilkan suasana yang selaras, serasi dan seimbang di masyarakat dan lingkungannya. Sebenarnya, bagi masyarakat secara umum, keadilan dan kepastian hukum adalah asas yang paling vital dalam menjunjung tinggi hak asasi serta kepercayaan pada kinerja pemerintah.
Konstitusi  dinegara ini sebenarnya sudah cukup memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat untuk dapat menikmati lingkungan yang ajeg yang tertuang secara khusus, di dalam UUD 45 yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di dalam  Pasal 28 G ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Kemudian dalam Pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” pada ayat 3: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat 4: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Penegakan hukum sebagai salah satu upaya untuk melakukan reformasi pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menjadi prioritas utama dalam menjamin adanya penataan lingkungan sesuai dengan standar internasional. Pada dasarnya, standar materi hukum lingkungan di Indonesia tidak jauh ketinggalan dengan apa yang berlaku di dunia internasional. Hanya saja penegakannya belum dapat dirasakan sedemikian rupa sehingga setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusakan lingkungan sering berakhir tanpa memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat.
Begitu banyak kasus lingkungan yang pada akhirnya hanya menimbulkan pertanyaan dalam masyarakat mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Sebagai contoh yang paling baru dan sampai saat ini belum dapat diselesaikan adalah kasus pencemaran sebagai akibat kecerobohan perusahaan, yang dalam hal ini Lapindo Brantas Inc. Dalam hal ini, Lapindo tidak saja harus bertanggung jawab atas kelalaian drilling yang dilakukan subkontraktor tersebut, melainkan juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan korporasinya secara hukum terutama untuk tegaknya hukum lingkungan bagi siapa saja yang melakukan tindakan kehancuran (pencemaran) lingkungan dalam aktivitasnya demi kepentingan lingkungan masyarakat sekitar dan kepentingan generasi yang akan datang.
Semburan lumpur panas oleh Lapindo di kabupaten Sidoarjo ini sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memorakporandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Beberapa media massa melaporkan, setidaknya tak kurang 13 pabrik harus tutup beberapa saat, 200 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, sebanyak 5800 penduduk mengungsi,  beberapa wilayah berpotensi terkontaminasi, demikian juga dengan tambak-tambak bandeng milik warga serta lumpuhnya aktivitas sosial, pendidikan serta jalur transportasi tol  Surabaya-Gempol.
Contoh lain yang masih membekas di ingatan masyarakat adalah kasus pencemaran yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL/eks. PT. Inti Indorayon Utama). PT Indorayon mulai beroperasi pada akhir tahun 1980-an. Pada tahun 1999 perusahaan itu ditutup atas rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang ketika itu dijabat Sonny Keraf-karena terbukti mencemari dan membahayakan lingkungan. Namun, pada Maret 2002 atas rekomendasi Wakil Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri, PT Indorayon dibuka kembali dengan nama PT Toba Pulp Lestari. Selama sepuluh tahun PT Indorayon beroperasi, , masyarakat Porsea merasakan hidup yang serba sulit. Selain mencemari lingkungan, perusahaan itu juga mendatangkan banyak masalah sosial, seperti konflik dan intimidasi aparat terhadap masyarakat yang menolak Indorayon.
Kesehatan masyarakat menurun karena kualitas lingkungan yang buruk. Limbah perusahaan itu tidak hanya mencemari udara yang menyebabkan penyakit ISPA, tetapi juga berpengaruh pada menurunnya hasil panen penduduk. Penduduk khawatir kejadian sepuluh tahun lalu, akan terulang dan mereka alami lagi sejak dibukanya PT TPL. Selain udara yang bikin sesak, dampak lain sejak dibukanya PT TPL adalah menurunnya hasil panen. Hal ini disebabkan banyaknya bulir padi yang tidak berisi atau kosong. Selain itu, penduduk setempat mengaku limbah uap dari operasional pabrik itu cukup mengganggu udara yang mereka hirup sehari-hari. Hampir semua penduduk Desa Amborgang yaitu daerah sekitar PT. TPL yang ditemui, sesudah turun hujan mereka merasakan perubahan udara sehingga menimbulkan rasa sesak dan jarak pandang yang buruk. Berdasarkan data di Puskesmas Porsea, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
pada bulan Januari 2001 tercatat 92 orang. Sedangkan pada Januari 2002 tercatat 103 orang dan meningkat menjadi 128 pada Januari 2003. Masyarakat menduga ISPA tersebut merupakan dampak pencemaran udara sejak beroperasinya kembali PT Toba Pulp Lestari pada tahun 2002.
Dari kedua contoh kasus lingkungan ini, tidak terlihat jelas upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian setiap dampak kerugian yang dialami oleh masyarakat. Ini hanyalah sebagian contoh kecil dari ribuan kasus lingkungan yang pernah terjadi di Indonesia seperti illegal loging, pembuangan limbah sembarangan, kasus PT. Freeport, dan kasus lain yang penyelesaiannya stag di satu titik yang belum jelas. Pada umumnya, pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran administratif yaitu pelanggaran terhadap tidak dipenuhinya persyaratan pendirian perusahaan yang berpotensi menghasilkan pencemaran lingkungan ini. Bila diurutkan, kasus kedua yang terbanyak adalah perdata kemudian diikuti oleh kasus pidana.
Pada pemerintahan saat ini banyak masalah mendasar yang harus dipecahkan lebih dulu sebelum mengatasi masalah lingkungan hidup dan sumber daya alam itu sendiri. Hal itu yang terkait dengan institusi yang lemah, tidak adanya rencana induk, masalah sumberdaya manusia dan integritasnya yang menghambat penegakan hukum. Bila dikaitkan dengan institusi, dahulu ada sebuah institusi yang disebut Badan Pengawas Dampak Lingkungan (Bapedal) yang didirikan dan diberi wewenang untuk melakukan pengawasan, tetapi kewenangan pengawasan yang melekat di berbagai instansi tidak dicabut. Akibatnya, perangkat hukum ini menjadi sangat lemah. Namun, saat ini Bapedal sudah tidak ada dan tugasnya dialihkan seluruhnya kepada kementrian lingkungan hidup. Masalah lain adalah Sumber Daya Manusia (SDM), yang sangat berkait dengan keberadaan master plan atau rencana induk tadi. Karena tidak ada master plan, maka pengembangan SDM pun tidak jelas. Sebagai contoh dapat terlihat dalam UU No 23/1997 ada inspektur sebagai pengawas dan ada investigator sebagai penyidik.
Namun, sekarang ini pemerintah lebih memprioritaskan keberadaan investigator. Padahal investigator yang bertugas menyidik itu untuk menangani proses pidana. Kalau orang sudah dipidana berarti sudah ada kerusakan. Yang diharapakan adalah jangan sampai kerusakan itu timbul. Oleh karena itu sangat diharapkan untuk memprioritaskan inspektur sebagai pengawas pada masalah administratif atau lebih pada persoalan teknis. Kalau pengawas berarti dia punya tugas untuk mencegah kerusakan. Jadi, pada saat orang sudah tidak memenuhi persyaratan, ia sudah dapat langsung dijatuhi hukuman. Idealnya jumlah antara pengawas dan penyidik tiga berbanding satu.
Sedangkan untuk bidang perangkat penegakan hukum, yang perlu dibenahi adalah kepolisian dan jaksa. Di lembaga kepolisian saat ini telah ada subdit lingkungan hidup namun hanya terbatas di Mabes Polri, belum menyentuh tingkat kepolisian daerah. Jadi  semua masih  mengandalkan Mabes Polri yang jumlah personelnya sangat terbatas. Di Kejaksaan kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Karena di lembaga ini lingkungan hidup berada di Direktorat Tindak Pidana Lain-lain di bawah Jampidum. Lingkungan hidup berada dibawah pidana umum, bukan pidana khusus. Padahal, lingkungan hidup adalah hal yang cukup vital dalam menjaga kesinambungan hidup manusia baik untuk saat ini maupun dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak dapat begitu saja dimaknai sebagai satu obyek statis yang hampa dari interaksi dengan manusia.  Hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta kewajiban negara untuk menjamin hak konstitusional warga negaranya harus diletakkan pada kedudukan tersendiri. Untuk tingkat pengadilan sendiri, seharusnya ada pengadilan khusus lingkungan hidup, atau digabungkan dengan SDA dan pertanahan seperti Land and Environment Court di Australia, yang derajatnya sejajar dengan Supreme Court negara bagian. Kalau untuk bidang korupsi dan niaga saja ada, kenapa tidak untuk lingkungan hidup mengingat lingkungan hidup juga menguasai hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
 Penanganan kasus juga harus ditangani oleh seorang hakim yang bersertifikat. Sekarang ini ada 627 hakim dari MA yang telah bersertifikat untuk menangani masalah lingkungan. Hal ini untuk menjamin integritas hakim-hakim itu sendiri. Jangan sampai hakim-hakim ini malah menjadi bumerang yang ikut mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi seperti dalam melakukan korupsi. Contoh kasus adalah kebakaran lahan Adei Plantation yang semula divonis dua tahun di tingkat banding menjadi delapan bulan. Padahal kebakaran hutan itu merupakan masalah nasional dan internasional. Mengapa harus ada klemensia atau peringanan hukuman. Para hakim ini dapat dikirim ke daerah-daerah untuk membantu menangani kasus lingkungan.
Begitu juga dengan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini, di Indonesia, undang-undang yang mengatur mengenai lingkungan hidup adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam kenyataannya, undang-undang ini masih terdapat kekurangan disana-sini. Diantaranya adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak memberikan kewenangan yang kuat pada menteri lingkungan hidup. Sekarang ini rekomendasi yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup (LH) tidak bersifat rekomendasi yang mengikat. Menteri LH tidak punya kewenangan untuk mencabut izin seperti Menteri LH di Belanda. Hal ini pula yang membuat penegakan hukum lingkungan lemah. Selain itu, UU No 23/1997 bersifat sangat sentralistis dan tidak memberi perspektif terhadap stakeholder yang maksimal. Padahal seharusnya dipikirkan kerja sama pengelolaan lingkungan pasca konsesi antara pihak pengelola dan pemerintah daerah, dan masyarakat lokal. Dengan demikian, kerusakan lingkungan akibat aktivitas pihak pemegang konsesi dapat diatasi. Pemegang hak pengelolaan lahan juga akan berhati-hati dalam menjalankan operasinya agar tidak merusak lingkungan.
Undang-undang lingkungan hidup juga hendaknya memiliki wewenang untuk perlindungan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat.  Wewenang ini diharapkan dapat mengatur upaya pencegahan kerusakan, penanganan kerusakan, penegakan hukum atau sanksi dan upaya rehabilitasi atau pemulihan lingkungan. 
Dengan terpenuhinya hal-hal diatas, maka masyarakat sebagai subyek yang berkaitan langsung dengan lingkungan dapat benar-benar merasakan adanya suatu sistem pemerintahan yang baik atau good governance sehingga berdampak pada terpenuhinya tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan  (public right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam, ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya. Dengan adanya jaminan akan pelaksanaan tiga hak dasar ini, maka barulah dapat dikatakan bahwa penegakan hukum dibidang hukum lingkungan telah terselenggara dengan baik dan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar